RESIKO MENJADI PETANI KENTANG DI BROMO TENGGER
Petani
merupakan salah satu pekerjaan yang dominan di Indonesia ini. Hamparan
lahan yang luas dan subur sangat memberikan peluang yang menjanjikan bagi
masyarakat penduduk pribumi. Tetapi kata-kata tersebut hanya berlaku pada masa orde
baru, dan tidak untuk masa reformasi seperti sekarang ini.
Hal
tersebut dapat dibuktikan salah satunya adalah petani yang ada di Bromo Tengger Semeru. Mayoritas petani disana menanam tanaman kentang dengan varietas lokal. Dan makin hari keadaannyapun semakin parah dalam
membudidayakan tanaman kentang. Berbagai masalah yang muncul dalam budidaya
tanaman kentang disana, antara lainnya yaitu: masalah modal (saprodi), masalah
keadaan lahan, masalah keadaan suhu dan temperatur yang sering labil, masalah
harga kentang di pasaran yang simpang siur, dan kurangnya informasi petani
tentang teknologi budidaya kentang yang lebih intensif dalam mendapatkan
hasilnya.
Kondisi
seperti itu juga dialami oleh petani Mitra Brawijaya Agro Ventura. Berdasarkan
evaluasi hasil panen kentang yang dilakukan oleh peserta magang kerja, mayoritas
petani mitra mengalami kerugian secara finansial dengan berbagai sebab yang
muncul selama proses penanaman kentang sampai panen. Seperti yang telah
dilakukan oleh peserta magang kerja hanya mitra tani Bu Um yang bisa
mengembalikan modal dari hasil panen kentangnya. Dan mitra lain seperti Pak
woko, Pak Siswandito, Pak Gono, Bu Ponamu, dan Pak Wit mengalami kerugian yang
relatif besar dengan berbagai penyebab
yang muncul.
Salah
satunya adalah petani mitra yang bernama Pak wit. Seperti yang telah kami
wawancarai dari Bapak Wit, penyebab terjadinya kerugian pada masa panen
tersebut lebih kepada cuaca yang sulit diprediksi. Yaitu musim hujan yang terus
menerus menguyur lahan kentang sehingga tanaman kentang rentan terserang jamur
dan penyakit. Hasil panennyapun kurang begitu maksimal. Dari hasil pantauan
peserta magang kerja, kentang yang dihasilkan yaitu 928 kg dengan rincian
kentang ukuran AL 457 kg, AB, 261 kg dan TO 109 kg. sehingga total hasil panen
yang didapatkan pak Wit sebesar Rp. 3.064.900 dari berbagai variasi harga
berdasrkan ukuran kentang tersebut.
Penyebab
kurang maksimalnya hasil panen pak Wit berdasarkan pantauan kami adalah harga
pasaran yang kurang stabil. Seperti kentang ukuran AL yang biasanya dihargai
lebih dari Rp. 5.000 sekarang hanya dihargai Rp. 4.500 yang sudah berada
dipasaran/pedagang pengumpul di Bromo Tengger. Begitu pula ukuran kentang AB,
yang dulunya dihargai Rp. 4.000 turun menjadi Rp. 3.600. Hal tersebut
sangat mempengaruhi jumlah uang hasil panen pak Wit.
Tetapi
dengan parahnya kondisi tersebut petani tidak serta merta putus asa.
Petani seperti pak Wit memiliki inisiatif yaitu dengan menyisakan
kentang ukuran TO untuk dijadikan bibit pada masa tanam selanjutnya yaitu
sebesar 4 kwintal. Sehingga dari pihak Brawijaya Agro Ventura untuk tanam
selanjutnya hanya memikirkan biaya saprodi saja dari kebutuhan masa tanam
kentang oleh Pak wit. (autis/med)